JAKARTA, sdkcards.com – Kampanye perang melawan narkoba yang dilakukan oleh mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, sejak tahun 2016 telah menjadi salah satu kebijakan paling kontroversial dalam sejarah negara tersebut. Operasi ini memicu perhatian dunia karena jumlah korban tewas yang sangat tinggi dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) bahkan membuka penyelidikan terhadap dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama masa kepemimpinan Duterte.
Jumlah Korban Menurut Pemerintah Filipina
Menurut data resmi yang dirilis oleh pemerintah Filipina, hingga akhir masa jabatan Duterte pada tahun 2022, sebanyak 6.229 orang tewas dalam operasi antinarkoba yang dilakukan oleh kepolisian dan aparat keamanan. Pemerintah mengklaim bahwa mereka yang tewas adalah para tersangka yang melawan saat hendak ditangkap, sehingga aparat terpaksa menggunakan kekerasan.
Angka yang Dilaporkan Organisasi Hak Asasi Manusia
Meskipun pemerintah mengklaim jumlah korban sekitar 6.200 orang, organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch melaporkan angka yang jauh lebih tinggi. Menurut laporan independen, jumlah korban yang terbunuh dalam operasi antinarkoba Duterte diperkirakan mencapai 12.000 hingga 30.000 orang. Banyak dari mereka adalah warga miskin di daerah kumuh yang diduga terkait dengan narkoba, meskipun tidak ada bukti kuat yang membuktikan keterlibatan mereka dalam kejahatan narkotika.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia juga menyoroti bahwa banyak korban tewas akibat eksekusi di luar proses hukum (extrajudicial killings), yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian atau kelompok tak dikenal yang didukung pemerintah.
Penyelidikan ICC dan Dugaan Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Pada Februari 2018, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag membuka penyelidikan awal terkait dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kampanye perang melawan narkoba Duterte.
Meskipun Filipina menarik diri dari ICC pada tahun 2019, pengadilan tetap memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki kejahatan yang terjadi sebelum penarikan tersebut. ICC menilai bahwa ada indikasi kuat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi di luar hukum yang meluas dan sistematis.
Pada Januari 2023, ICC mengizinkan penyelidikan penuh atas kasus ini, meskipun mendapat penolakan keras dari pemerintah Filipina. Duterte dan beberapa pejabat tinggi lainnya dituduh bertanggung jawab atas kebijakan yang menyebabkan kematian ribuan orang tanpa melalui proses peradilan yang adil.
Kesimpulan
Jumlah korban tewas dalam operasi antinarkoba Duterte masih menjadi perdebatan. Sementara pemerintah Filipina mengklaim bahwa korban hanya sekitar 6.200 orang, organisasi hak asasi manusia memperkirakan jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu. Kontroversi ini terus berlanjut, dan penyelidikan ICC menjadi langkah penting dalam upaya menegakkan keadilan bagi para korban dan keluarga mereka.
Duterte sendiri tetap bersikeras bahwa kampanyenya bertujuan untuk menyelamatkan Filipina dari bahaya narkoba, tetapi dunia internasional melihatnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Hasil dari penyelidikan ICC ke depan akan menentukan apakah mantan presiden Filipina itu akan menghadapi hukuman atas tindakan yang diambil selama pemerintahannya.