JAKARTA, sdkcards.com – Sektor manufaktur Indonesia terus menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang menggembirakan di tengah dinamika ekonomi global yang penuh tantangan. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan bahwa Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang dirilis oleh lembaga pemeringkat dunia Standard & Poor’s Global (S&P Global) dapat dijadikan indikator tambahan yang strategis untuk memantau kesehatan industri nasional. Pernyataan ini disampaikan Agus dalam konferensi pers virtual yang digelar Kementerian Perindustrian pada Senin (3/11/2025), seiring dengan rilis data terbaru PMI untuk bulan September 2025 yang berada di zona ekspansi.
Menurut data S&P Global, PMI Manufaktur Indonesia mencapai angka 52,3 pada September 2025, naik dari 51,9 pada bulan sebelumnya. Angka di atas 50 ini menandakan adanya pertumbuhan aktivitas manufaktur, didorong oleh peningkatan pesanan baru, produksi, dan lapangan kerja. “PMI S&P Global bukan hanya sekadar angka, tapi cerminan nyata dari kepercayaan pelaku industri terhadap prospek ekonomi kita. Ini bisa menjadi indikator tambahan yang melengkapi data domestik seperti Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dari Kemenperin, sehingga kita bisa merespons lebih cepat terhadap fluktuasi pasar,” ujar Agus Gumiwang.
Agus menjelaskan bahwa PMI S&P Global, yang dikumpulkan dari survei terhadap manajer pembelian di ratusan perusahaan manufaktur, memberikan perspektif global yang lebih luas. Berbeda dengan IKI yang lebih berfokus pada sentimen lokal, PMI ini mencakup faktor eksternal seperti permintaan ekspor dan harga komoditas internasional. “Di tengah ketidakpastian geopolitik dan fluktuasi nilai tukar, indikator ini membantu kami merancang kebijakan yang lebih adaptif. Misalnya, jika PMI menunjukkan kontraksi, kita bisa segera mendorong insentif seperti Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk menjaga daya saing,” tambahnya.
Capaian positif ini sejalan dengan tren pertumbuhan industri manufaktur Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan data Kemenperin, sektor ini tumbuh sebesar 4,94 persen dari triwulan IV 2024 hingga triwulan II 2025, dengan kontribusi utama dari subsektor kimia, makanan-minuman, dan tekstil. Agus juga menyoroti bahwa 75 persen produksi manufaktur diserap pasar domestik, sementara 25 persen diekspor, yang menunjukkan ketahanan industri dalam negeri terhadap guncangan eksternal. “Kita tidak bergantung sepenuhnya pada ekspor, tapi justru ini peluang untuk memperkuat rantai pasok lokal,” katanya.
Lebih lanjut, Menperin Agus Gumiwang menekankan komitmen pemerintah untuk mendukung ekspansi manufaktur melalui pembangunan infrastruktur. Pada Oktober 2025, Kemenperin meresmikan sembilan kawasan industri baru yang diharapkan memperkuat ekosistem manufaktur, termasuk di wilayah timur Indonesia. Selain itu, kebijakan trade remedies seperti Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap tujuh produk impor dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap lima produk lainnya diterapkan untuk melindungi industri nasional dari banjir impor murah.
Akses pasar global juga menjadi prioritas, dengan Indonesia yang baru saja bergabung dalam BRICS serta menandatangani perjanjian kemitraan ekonomi dengan Kanada (ICA-CEP) dan Peru (IPE-CEP) pada 2025. “Dengan dukungan ini, kita bisa menargetkan ekspor manufaktur mencapai Rp1.500 triliun pada akhir tahun fiskal,” optimis Agus.
Namun, tantangan tetap ada. Pada Agustus 2024, PMI sempat mengalami kontraksi di angka 49,2 akibat penurunan output dan pesanan, yang disebabkan oleh keterlambatan kebijakan pendukung dari kementerian terkait. Agus mengakui hal ini sebagai pelajaran berharga, sehingga Kemenperin kini lebih proaktif dalam koordinasi lintas sektoral. “Kita belajar dari masa lalu. PMI S&P Global sekarang jadi alat bantu untuk antisipasi dini, bukan reaksi belakangan,” tegasnya.
Para ekonom menyambut baik pernyataan Menperin ini. Dr. Rina Indiastuti, pakar ekonomi industri dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa integrasi PMI sebagai indikator tambahan akan meningkatkan akurasi forecasting pemerintah. “Ini langkah maju menuju data-driven policy, terutama di era digital di mana real-time data seperti PMI sangat krusial,” katanya.
Secara keseluruhan, optimisme Agus Gumiwang terhadap PMI S&P Global mencerminkan visi pemerintah untuk menjadikan manufaktur sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi. Dengan memanfaatkan indikator ini sebagai “kompas tambahan”, Indonesia diharapkan bisa mempertahankan momentum ekspansi dan bersaing lebih tangguh di panggung global. Di akhir konferensi, Agus menutup dengan pesan: “Industri kita kuat jika kita semua bersatu – pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.”
