Tragedi Bint Jbeil, Serangan Drone Israel Gugurkan Nyawa Tiga Warga AS Kecil di Lebanon Selatan

JAKARTA, sdkcards.com – Sebuah serangan drone Israel di kota Bint Jbeil, Lebanon selatan, pada Minggu (21/9/2025) menewaskan lima orang, termasuk tiga anak-anak yang memegang kewarganegaraan Amerika Serikat. Insiden tragis ini memicu kecaman keras dari pemerintah Lebanon dan komunitas internasional, di tengah ketegangan yang masih membara pasca-gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hizbullah.

Menurut Kementerian Kesehatan Lebanon, serangan tersebut menghantam sebuah sepeda motor dan sebuah mobil Mercedes yang sedang melintas di kawasan padat penduduk. Di dalam mobil, ditemukan mayat Shadi Sharara, seorang ayah keluarga, beserta ketiga anaknya: Celine (12 tahun), Hadi (9 tahun), dan Aseel (6 tahun). Keluarga ini diketahui memiliki kewarganegaraan ganda Lebanon-AS, sementara pengendara sepeda motor, yang diduga menjadi target utama, juga tewas di tempat. Ibu keluarga tersebut, yang selamat dari serangan, kini dirawat dalam kondisi kritis di rumah sakit setempat.

Parlemen Lebanon, melalui Ketua Nabih Berri, mengonfirmasi bahwa empat korban tewas – termasuk tiga anak dan ayah mereka – adalah warga negara AS. “Darah warga Lebanon ini, termasuk yang bermarga Amerika, menjadi tanggung jawab pertemuan di Naqoura dan demonstrasi global yang sedang menuju PBB,” tegas Berri dalam pernyataannya.

Latar Belakang Serangan di Tengah Gencatan Senjata yang Rapuh

Serangan ini terjadi hanya sepekan setelah kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat pada November 2024, yang seharusnya mengakhiri perang berkepanjangan antara Israel dan Hizbullah. Perang tersebut telah menewaskan sekitar 4.000 orang di Lebanon dan memaksa ratusan ribu warga mengungsi dari wilayah selatan dan timur negara itu. Meski demikian, Israel terus melakukan serangan hampir harian di Lebanon selatan, dengan alasan mencegah Hizbullah membangun kembali kekuatan militernya.

Militer Israel (IDF) mengakui melakukan serangan tersebut, menyatakan bahwa targetnya adalah seorang anggota Hizbullah yang sedang bergerak di kawasan tersebut. “IDF menyesali segala kerugian terhadap warga sipil yang tidak terlibat dan sedang menyelidiki insiden ini,” ujar pernyataan resmi IDF. Mereka menambahkan bahwa operasi tersebut bertujuan menghilangkan ancaman terhadap keamanan Israel, meskipun mengakui adanya korban sipil.

Namun, pihak Lebanon menolak klaim tersebut. Perdana Menteri Nawaf Salam menyebut serangan itu sebagai “pembantaian terhadap warga sipil” dan “pesan intimidasi” bagi penduduk yang baru kembali ke desa-desa mereka di selatan Lebanon. Presiden Joseph Aoun, yang sedang berada di New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB, mengecam keras insiden ini sebagai “pembantaian” dan mendesak komunitas internasional untuk menekan Israel agar menghentikan pelanggaran. “Tidak ada perdamaian di atas darah anak-anak kita,” tulis Aoun dalam pernyataan resminya.

Reaksi Internasional dan Dampak Kemanusiaan

Organisasi seperti UNICEF menyuarakan kekecewaan mendalam atas kematian tiga anak dari satu keluarga yang sama. “Kami terkejut dan marah atas pembunuhan tiga anak di serangan udara Lebanon selatan. Serangan terhadap anak-anak tidak dapat diterima, dan permusuhan harus segera dihentikan untuk melindungi setiap anak,” demikian bunyi pernyataan UNICEF di platform X.

Pemerintah Lebanon juga menyoroti kegagalan mekanisme pengawasan gencatan senjata yang melibatkan AS, Prancis, dan pasukan penjaga perdamaian PBB (UNIFIL). Hizbullah, yang menolak membahas perlucutan senjata selama Israel masih menduduki lima titik perbukitan di perbatasan Lebanon, menyebut kesepakatan tersebut tidak efektif. Sementara itu, Lebanon menghadapi tekanan dari AS, Arab Saudi, dan rival domestik Hizbullah untuk melucuti kelompok militan tersebut.

Insiden ini menambah daftar korban sipil dalam konflik yang telah berlangsung lebih dari setahun, dipicu oleh perang Gaza. Sejak gencatan senjata, Israel dilaporkan telah menewaskan beberapa anggota Hizbullah melalui serangan drone, termasuk komandan-komandan kunci di wilayah selatan. Namun, korban sipil seperti keluarga Sharara semakin memperburuk ketegangan regional.

Tantangan Perdamaian di Lebanon

Serangan di Bint Jbeil terjadi tak lama setelah Kunjungan utusan AS, Morgan Ortagus, ke Beirut, di mana ia menjanjikan dukungan tak bersyarat bagi tentara Lebanon untuk menjaga stabilitas. Sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini menyatakan bahwa “kemenangan atas Hizbullah” telah membuka peluang perdamaian dengan tetangga utara Israel, termasuk Suriah, insiden ini justru menunjukkan betapa rapuhnya situasi.

Pakar konflik Timur Tengah memperingatkan bahwa pembunuhan warga AS bisa memicu respons dari Washington, meskipun Departemen Luar Negeri AS belum memberikan komentar resmi hingga saat ini. Di Lebanon, di mana jutaan warga masih bergantung pada bantuan kemanusiaan akibat pengungsian massal, tragedi ini menjadi pengingat pahit bahwa perdamaian sejati masih jauh dari kenyataan.

Keluarga Sharara, yang diketahui baru kembali ke Bint Jbeil setelah mengungsi, kini menjadi simbol penderitaan warga sipil di zona konflik. Masyarakat internasional diharapkan segera bertindak untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, sebelum darah lebih banyak lagi tertumpah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *