JAKARTA, sdkcards.com – Ketegangan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mencuat di Indonesia, khususnya setelah putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dan putusan Nomor 135/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal. Konflik ini bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan cerminan dinamika kompleks antara dua lembaga tinggi negara yang masing-masing memiliki kewenangan konstitusional, namun tidak luput dari kritik dan dugaan penyimpangan. Artikel ini mengupas akar ketegangan, peran kedua lembaga, serta sorotan publik terhadap integritas mereka.
Latar Belakang Ketegangan
Konflik antara DPR dan MK memanas ketika DPR menggelar rapat konsultasi pada 30 Juni 2025 untuk mengkaji putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal, yang dianggap final dan mengikat oleh konstitusi. Putusan ini, hasil gugatan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyatakan bahwa pemilu serentak dengan lima surat suara menurunkan kualitas demokrasi, menyulitkan kaderisasi partai politik, dan melemahkan institusi kepartaian. MK memerintahkan pemisahan pemilu dengan jarak waktu minimal dua tahun sejak pelantikan pejabat hasil pemilu nasional.
Namun, DPR menunjukkan resistensi dengan mempertimbangkan revisi undang-undang atau bahkan Perppu untuk “menanggapi” putusan MK, memicu tuduhan bahwa DPR berupaya menganulir kewenangan MK. Pengamat politik seperti Bivitri Susanti memperingatkan bahwa tindakan ini dapat dianggap melanggar konstitusi, bahkan berpotensi membatalkan penyelesaian sengketa Pilkada 2024. Sementara itu, sejumlah pihak di media sosial X menilai DPR dan MK sejajar sebagai lembaga tinggi negara, dengan DPR memiliki hak menafsirkan konstitusi melalui undang-undang, meskipun MK adalah penafsir utama konstitusi.
Peran dan Kewenangan DPR dan MK
DPR, sebagai bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPR berperan membuat, membahas, dan menetapkan undang-undang bersama presiden, mencerminkan kedaulatan rakyat melalui demokrasi perwakilan. Namun, DPR sering dikritik karena dianggap dipengaruhi oleh kepentingan politik dan oligarki, dengan elite partai enggan menerima intervensi terhadap keputusan mereka.
Di sisi lain, MK memiliki kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, termasuk menguji undang-undang terhadap UUD, menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara, memutus pembubaran partai politik, menangani perselisihan hasil pemilu, dan memberikan putusan atas dugaan pelanggaran presiden atau wakil presiden. MK berperan sebagai penjaga konstitusi, memastikan check and balance antara eksekutif dan legislatif, serta memperkuat sistem demokrasi dan presidensial.
Kritik terhadap DPR dan MK
Baik DPR maupun MK tidak luput dari sorotan publik. DPR sering dituding sebagai “panggung teater kekuasaan” yang dipengaruhi kepentingan politik dinasti dan oligarki. Revisi UU KPK dan drama Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pengesahan UU Cipta Kerja yang tetap diberlakukan meski dibatalkan MK, menjadi contoh bagaimana DPR dianggap mengabaikan keadilan demi kepentingan politik.
Sementara itu, MK, yang pernah dianggap sebagai “benteng konstitusionalisme,” kini mendapat kritik keras karena dianggap telah “dirusak dari dalam.” Istilah “mahkamah keluarga” muncul sebagai sindiran atas dugaan konflik kepentingan dalam beberapa putusan, seperti kasus uji materi UU Kementerian Negara yang mengizinkan wakil menteri merangkap jabatan di BUMN. Selain itu, MK dikritik karena terbatas pada penilaian prosedur dan pasal, bukan moral atau keadilan substantif, sehingga putusannya kadang dianggap sah secara hukum namun cacat secara moral.
Sentimen Publik dan Media
Sentimen publik di media sosial X mencerminkan polarisasi. Sebagian pihak, seperti akun @saiful_mujani, menegaskan bahwa DPR yang melawan putusan MK dapat dianggap melakukan pembangkangan konstitusi. Sementara itu, akun seperti @willsarana berpendapat bahwa DPR tidak wajib mengikuti putusan MK karena keduanya sama-sama penafsir konstitusi, dengan hasil berbeda: DPR melalui UU, MK melalui putusan. Harian Kompas juga menyerukan agar DPR menghentikan polemik dan fokus menindaklanjuti putusan MK, menekankan pentingnya menjaga integritas demokrasi.
Implikasi dan Tantangan ke Depan
Konflik ini menyoroti tantangan mendasar dalam demokrasi Indonesia: bagaimana menjaga keseimbangan kewenangan antarlembaga tanpa mengorbankan integritas konstitusi. DPR memiliki hak untuk membuat undang-undang, namun tidak boleh menafsirkan ulang atau menganulir putusan MK, yang memiliki otoritas final dalam penafsiran konstitusi. Di sisi lain, MK perlu menjaga independensi dan integritasnya agar tidak dianggap tunduk pada tekanan politik atau konflik kepentingan.
Reformasi MK, seperti yang diusulkan beberapa pengamat, bisa menjadi solusi untuk memperkuat kewenangan etik dan moral dalam putusannya. Sementara itu, DPR perlu menunjukkan komitmen pada kedaulatan rakyat dengan menghormati putusan MK, bukan hanya mengejar kepentingan politik jangka pendek. Tanpa kerja sama yang sehat antara kedua lembaga, demokrasi Indonesia berisiko terjebak dalam ketegangan institusional yang merugikan rakyat.
DPR dan MK, meskipun memiliki peran krusial dalam sistem demokrasi Indonesia, bukanlah institusi yang bebas dari cela. Konflik terbaru ini mencerminkan perjuangan untuk menjaga keseimbangan antara kewenangan legislatif dan pengawasan konstitusional. Dengan kritik terhadap keduanya—DPR sebagai alat kekuasaan politik dan MK sebagai lembaga yang kadang kehilangan legitimasi moral—penting bagi publik untuk terus mengawasi dan menuntut transparansi serta akuntabilitas. Hanya dengan menjunjung supremasi konstitusi dan keadilan, Indonesia dapat memperkuat fondasi demokrasinya.