Komisaris BUMN, Antara Kepentingan Politik dan Harapan Profesionalisme

JAKARTA, sdkcards.com – Pengangkatan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia kerap menjadi sorotan publik karena dugaan keterlibatan politik transaksional dan penyimpangan dari prinsip meritokrasi. Praktik penunjukan komisaris yang diduga berdasarkan kedekatan dengan lingkar kekuasaan, bukan kompetensi, memunculkan pertanyaan tentang tata kelola perusahaan negara dan dampaknya terhadap kinerja serta kepercayaan publik.

Latar Belakang Pengangkatan Komisaris BUMN

Komisaris BUMN memiliki peran strategis dalam mengawasi kebijakan direksi, memastikan tata kelola yang baik, dan menjaga kepentingan pemegang saham, yaitu negara. Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Peraturan Menteri BUMN No. PER-02/MBU/02/2015 (diperbarui oleh PER-10/MBU/10/2020), calon komisaris harus memenuhi syarat formal seperti tidak pernah terlibat tindak pidana, bukan pengurus partai politik, dan memiliki integritas serta kompetensi yang relevan. Proses pengangkatan dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan persetujuan Menteri BUMN. Namun, praktik di lapangan sering kali menunjukkan penyimpangan dari prinsip-prinsip ini.

Pada Juli 2025, pengangkatan sejumlah figur publik, politisi, dan loyalis partai sebagai komisaris BUMN kembali memicu kontroversi. Nama-nama seperti Taufik Hidayat (Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga, diangkat sebagai Komisaris PLN Energi Primer Indonesia), Grace Natalie (Staf Khusus Presiden, Komisaris MIND ID), dan Ade Armando (komentator politik, Komisaris PLN Nusantara Power) menjadi sorotan karena latar belakang mereka yang dianggap lebih dekat dengan politik daripada keahlian teknis di bidang energi atau industri terkait. Fenomena ini memunculkan kritik bahwa kursi komisaris digunakan sebagai alat politik balas budi, bukan berdasarkan kebutuhan perusahaan.

Politik Transaksional dalam Pengangkatan Komisaris

Politik transaksional, atau yang sering disebut sebagai politik balas budi, merujuk pada praktik penempatan individu di posisi strategis sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk loyalitas elektoral, kontribusi kampanye, atau kedekatan dengan penguasa. Menurut pengamat BUMN Herry Gunawan, praktik ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan mencerminkan pola “harta rampasan perang,” di mana pihak yang berkuasa mendistribusikan posisi strategis kepada pendukungnya. Hal ini diperkuat oleh laporan media seperti Kompas.id (13/6/2024), yang menyebutkan bahwa pengangkatan komisaris berlatar belakang politik telah menjadi hal biasa selama transisi kekuasaan.

Contoh konkretnya adalah pengangkatan 30 wakil menteri Kabinet Merah Putih sebagai komisaris BUMN, seperti Arif Havas Oegroseno (Wakil Menteri Luar Negeri, Komisaris PT Pertamina International Shipping) dan Stella Christie (Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Komisaris PT Pertamina Hulu Energi). Koordinator Aliansi Relawan Prabowo Gibran (ARPG), Syafrudin Budiman, menilai praktik ini melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 80/PUU-XVII/2019, yang melarang wakil menteri merangkap jabatan di perusahaan negara, serta UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang menegaskan larangan rangkap jabatan untuk pejabat publik.

Selain itu, pengamat politik Muhammad Said Didu menyoroti bahwa pengangkatan komisaris masih dikendalikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan lingkaran kekuasaan tertentu, yang disebutnya sebagai “Geng Solo dan Termul.” Ia menyatakan bahwa pembentukan Danantara, yang dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme seleksi direksi, tidak diterapkan pada komisaris, sehingga memperburuk kualitas pengangkatan.

Ilusi Meritokrasi

Meritokrasi, konsep yang menempatkan kompetensi dan keahlian sebagai dasar pengangkatan, sering kali hanya menjadi ilusi dalam konteks BUMN. Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menegaskan bahwa komisaris harus memiliki keahlian teknis yang memadai, bukan hanya memenuhi syarat administratif. Ia menyarankan adanya uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) untuk komisaris, sebagaimana berlaku untuk direksi, guna memastikan pengawasan BUMN berjalan optimal.

Namun, realitasnya menunjukkan bahwa banyak komisaris yang diangkat tidak memiliki latar belakang yang relevan dengan industri BUMN yang mereka awasi. Misalnya, pengangkatan selebritas, mantan atlet, atau politisi seperti Taufik Hidayat dan Ade Armando memicu pertanyaan tentang kecocokan keahlian mereka dengan kebutuhan perusahaan. Transparency International Indonesia menyoroti bahwa praktik ini meningkatkan risiko klientalisme politik, di mana komisaris cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok politik ketimbang kepentingan perusahaan, bahkan berpotensi membuka celah korupsi.

Menurut laporan Ruang Bicara (10/7/2025), penempatan komisaris berbasis politik mengabaikan prinsip meritokrasi yang digagas oleh Michael Young, di mana kemampuan harus menjadi dasar utama seleksi. Praktik ini juga bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG), seperti transparansi, akuntabilitas, dan kemandirian, yang seharusnya menjadi landasan pengelolaan BUMN.

Dampak dan Tantangan

Praktik pengangkatan komisaris yang sarat kepentingan politik memiliki sejumlah dampak negatif:

  • Penurunan Kinerja BUMN: Komisaris yang kurang kompeten dapat menghambat pengambilan keputusan strategis, sehingga mengurangi daya saing perusahaan.

  • Konflik Kepentingan: Rangkap jabatan, terutama oleh wakil menteri, berpotensi menciptakan benturan kepentingan antara tugas publik dan kepentingan bisnis.

  • Erosi Kepercayaan Publik: Penunjukan berbasis politik balas budi menurunkan legitimasi BUMN dan pemerintah di mata masyarakat.

  • Risiko Korupsi: Ketidakpatuhan terhadap prinsip GCG meningkatkan peluang praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Tantangan utama adalah bagaimana memastikan pengangkatan komisaris berdasarkan kompetensi dan kebutuhan perusahaan. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

  1. Penerapan Fit and Proper Test: Uji kelayakan yang ketat untuk memastikan kandidat memiliki keahlian teknis dan pengalaman yang relevan.

  2. Transparansi Seleksi: Membuka proses seleksi kepada publik untuk memastikan akuntabilitas dan mengurangi kecurigaan politik balas budi.

  3. Penegakan Regulasi: Memastikan kepatuhan terhadap UU No. 25/2009 dan Putusan MK No. 80/2019 untuk mencegah rangkap jabatan.

  4. Penguatan Danantara: Memperluas peran Danantara untuk mencakup seleksi komisaris, bukan hanya direksi, guna meningkatkan profesionalisme.

  5. Pendidikan Publik: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya tata kelola yang baik dalam pengelolaan BUMN.

Pengangkatan komisaris BUMN di Indonesia masih diwarnai oleh politik transaksional, yang mengesampingkan prinsip meritokrasi dan tata kelola yang baik. Meskipun regulasi seperti UU BUMN dan Peraturan Menteri BUMN telah mengatur syarat formal dan materiil, praktik penunjukan figur politik, loyalis, atau pejabat yang merangkap jabatan menunjukkan adanya celah dalam implementasi. Untuk mewujudkan BUMN yang profesional dan kompetitif, pemerintah perlu berkomitmen pada transparansi, akuntabilitas, dan seleksi berbasis kompetensi. Hanya dengan langkah-langkah konkret, ilusi meritokrasi dapat berubah menjadi kenyataan, demi kepentingan perusahaan dan masyarakat luas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *