JAKARTA, sdkcards.com – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, mengkritik peran Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi jalannya sidang kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau lebih dikenal sebagai Tom Lembong. Sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta ini telah menarik perhatian publik, terutama setelah vonis 4,5 tahun penjara dijatuhkan kepada Tom Lembong pada 18 Juli 2025.
Konteks Kasus Tom Lembong
Tom Lembong didakwa terkait kebijakan impor gula kristal mentah pada 2015-2016 saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Menurut dakwaan jaksa, kebijakan tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp194,7 miliar. Majelis hakim menyatakan Tom bersalah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, meskipun hakim juga menyebutkan bahwa Tom tidak menerima keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.
Vonis ini memicu kontroversi, dengan banyak pihak mempertanyakan dasar hukum putusan tersebut. Salah satu isu utama adalah absennya bukti mens rea (niat jahat) dalam perbuatan Tom, yang merupakan elemen penting dalam hukum pidana modern.
Kritik Saut Situmorang terhadap Komisi Yudisial
Saut Situmorang menyoroti minimnya pengawasan KY terhadap proses persidangan Tom Lembong. Dalam wawancara di program Gaspol! Kompas.com, Saut menegaskan bahwa KY tidak boleh berdiam diri, terutama karena kasus ini telah menjadi perbincangan luas di masyarakat. “Bagaimana dengan KY, itu sudah dilaporin loh. Kalau KY enggak hadir juga di sana, dia salah besar tuh. Karena ini kasus sudah dibicarakan di mana-mana,” ujar Saut.
Menurut Saut, ada sejumlah kejanggalan dalam kasus ini, termasuk fakta bahwa Tom tidak menerima keuntungan pribadi dari kebijakan impor gula yang dituduhkan kepadanya. Ia juga mempertanyakan mengapa hanya Tom yang dijerat hukum, padahal banyak menteri perdagangan lain yang mengambil kebijakan impor serupa tanpa diproses secara hukum. “Kalau memang kita mau bertanya kenapa kok seperti saat itu, saya udah ngikutin betul dari awal case ini gitu. Dan saya sudah terbiasa bentuk-bentuk kayak begini. Yang menurut saya, memang Tom Lembong harus dibebaskan,” tambahnya.
Saut menilai bahwa kegagalan KY untuk turun tangan dalam kasus ini dapat memperburuk persepsi publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Ia menekankan bahwa pengawasan KY sangat penting untuk memastikan integritas dan independensi peradilan.
Tanggapan Publik dan Pihak Lain
Kasus Tom Lembong tidak hanya menarik perhatian Saut Situmorang, tetapi juga tokoh-tokoh lain seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, yang menyebut bahwa vonis terhadap Tom tidak memenuhi unsur mens rea. Mahfud menilai bahwa kebijakan impor gula yang dilakukan Tom hanyalah bagian dari tugas administratif yang berasal dari arahan atasan.
Sidang pembacaan vonis pada 18 Juli 2025 juga dihadiri oleh sejumlah tokoh terkenal, termasuk Anies Baswedan dan Rocky Gerung, yang menyatakan harapan mereka agar keadilan ditegakkan. Puluhan pendukung Tom juga memadati area pengadilan, meskipun akses masuk ke ruang sidang dibatasi demi menjaga situasi tetap kondusif.
Respon Pengadilan dan Langkah Hukum Lanjutan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melalui juru bicaranya Andi Saputra, menegaskan bahwa vonis terhadap Tom Lembong diambil berdasarkan fakta hukum tanpa intervensi atau tekanan politik. Namun, vonis ini tetap menuai kritik dari para ahli hukum, seperti Hardjuno Wiwoho dari Universitas Airlangga, yang mempertanyakan kurangnya argumentasi mendalam terkait mens rea dan perhitungan kerugian negara.
Tom Lembong sendiri telah mengajukan banding atas vonis tersebut. Kejaksaan Agung juga menyatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk mengajukan banding, sambil menunggu salinan lengkap putusan hakim.
Implikasi Lebih Luas
Kontroversi seputar kasus Tom Lembong menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan administratif dapat dikriminalisasi, yang berpotensi menghambat pengambilan keputusan oleh pejabat publik di masa depan. Para ahli hukum, seperti Bivitri Susanti, menyoroti bahwa vonis ini berbahaya karena mengaburkan batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana.
Kritik Saut Situmorang terhadap KY juga menggarisbawahi pentingnya pengawasan independen terhadap sistem peradilan. Jika KY tidak berperan aktif, kepercayaan publik terhadap integritas hakim dan proses peradilan dapat semakin terkikis.
Kasus Tom Lembong menjadi cerminan kompleksitas penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam konteks tindak pidana korupsi. Kritik Saut Situmorang terhadap peran KY mengingatkan bahwa pengawasan terhadap independensi dan integritas peradilan adalah kunci untuk menjaga keadilan. Dengan proses banding yang sedang berjalan, publik menantikan apakah putusan berikutnya dapat menjawab keraguan yang muncul dari kasus ini.