JAKARTA, sdkcards.com – Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru disahkan pada 20 Maret 2025 oleh DPR RI telah memicu gelombang kontroversi. Hanya dalam waktu sebulan, UU ini sudah digugat sebanyak delapan kali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan-gugatan ini, yang sebagian besar diajukan oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil, menyoroti dugaan kecacatan prosedural dan potensi ancaman terhadap demokrasi serta supremasi sipil. Artikel ini mengulas fakta-fakta di balik gugatan tersebut, alasan penolakan, dan implikasinya terhadap tata kelola negara.
Latar Belakang Pengesahan UU TNI
Revisi UU TNI, yang mengubah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, disahkan dalam rapat paripurna DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani. Proses pengesahan ini berlangsung cepat, hanya sebulan setelah Surat Presiden diterima pada 18 Februari 2025. UU ini memperluas kewenangan TNI, termasuk penambahan dua poin dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan penempatan prajurit aktif di 14 instansi sipil, seperti Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Kejaksaan Agung. Selain itu, Pasal 53 mengatur perpanjangan batas usia pensiun prajurit berdasarkan pangkat, yang juga menuai kritik.
Namun, proses legislasi ini menuai protes keras. Banyak pihak, termasuk akademisi, aktivis, dan mahasiswa, menilai pembahasan dilakukan secara tertutup dan terburu-buru. Demonstrasi terjadi di berbagai daerah, termasuk di depan gedung DPR, sebagai bentuk penolakan terhadap revisi yang dianggap mengancam demokrasi dan mengembalikan dwifungsi TNI ala Orde Baru.
Delapan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Sejak disahkan, UU TNI telah digugat sebanyak delapan kali ke MK, dengan gugatan pertama diajukan hanya sehari setelah pengesahan, pada 21 Maret 2025. Salah satu gugatan terdaftar dengan nomor perkara 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025, diajukan oleh tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), yaitu Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siahaan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R. Yuniar A. Alpandi.
Gugatan lainnya, termasuk yang diajukan oleh Kolonel Sus Profesor Mhd Malkis, seorang TNI sekaligus Guru Besar Universitas Pertahanan, menyoroti aspek materiil, khususnya Pasal 2 huruf d UU TNI. Pemohon menilai pasal ini bermasalah karena dapat menimbulkan dominasi militer dalam kehidupan sipil. Hingga akhir April 2025, total delapan gugatan telah teregistrasi, baik uji formil maupun materiil, mencerminkan tingginya ketidakpuasan masyarakat terhadap UU ini.
Alasan Gugatan
Para penggugat, terutama mahasiswa UI, menyoroti beberapa kecacatan dalam proses pembentukan UU TNI, antara lain:
-
Cacat Prosedural dan Keterbukaan: Proses pembahasan dianggap tidak transparan. Draf revisi dan naskah akademik tidak dipublikasikan, menghambat partisipasi publik. Bahkan, hingga gugatan diajukan, pemohon kesulitan mengakses naskah UU yang telah disahkan.
-
Pelanggaran Prolegnas: Revisi UU TNI tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Komisi I DPR, yang seharusnya fokus pada RUU Penyiaran. Munculnya RUU TNI secara tiba-tiba dianggap melanggar prosedur legislatif.
-
Pembahasan Tertutup: Rapat pembahasan di Hotel Fairmont, Jakarta, pada 16 Maret 2025, dilakukan secara tertutup, menimbulkan kecurigaan tentang kurangnya akuntabilitas.
-
Potensi Ancaman Demokrasi: Penambahan kewenangan TNI, seperti penempatan prajurit aktif di instansi sipil dan perluasan OMSP, dianggap dapat mengembalikan dwifungsi TNI, yang bertentangan dengan supremasi sipil dan reformasi 1998.
Para penggugat meminta MK untuk membatalkan UU TNI, menyatakan inkonstitusional, dan mengembalikan norma UU Nomor 34 Tahun 2004 sebelum revisi.
Respons Pihak Terkait
Mabes TNI, melalui Kapuspen Brigjen Kristomei Sianturi, menyatakan menghormati proses hukum di MK sebagai hak warga negara. Mereka menegaskan bahwa revisi UU TNI telah melalui proses legislasi yang melibatkan berbagai pihak dan tetap berada dalam kerangka supremasi sipil. TNI juga menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada MK.
Di sisi lain, DPR dan pemerintah membela pengesahan UU ini. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mempersilakan pihak yang keberatan untuk menggugat, sementara Ketua Panja RUU TNI, Utut Adianto, menegaskan bahwa revisi ini mempertimbangkan kepentingan pertahanan dan profesionalisme TNI. Namun, anggota DPR Benny K Harman memperingatkan MK agar tetap berada pada koridor reformasi 1998 dan tidak “salah jalan” dalam memutuskan gugatan ini.
Optimisme dan Tantangan di MK
Para penggugat, khususnya mahasiswa, optimistis gugatan mereka akan dikabulkan. Mereka merujuk pada tren putusan MK yang dinilai profesional, seperti putusan terkait UU Pilkada dan penghapusan ambang batas pencalonan presiden. Muhammad Alif Ramadhan, salah satu pemohon, berharap MK tetap netral dan objektif.
Namun, peluang kemenangan gugatan ini tidak tanpa tantangan. Uji formil membutuhkan bukti kuat tentang pelanggaran prosedur legislasi, sementara MK juga harus mempertimbangkan sensitivitas isu pertahanan negara. Selain itu, tekanan publik dan demonstrasi yang terus berlangsung dapat memengaruhi dinamika sidang.
Implikasi ke Depan
Delapan gugatan terhadap UU TNI dalam waktu sebulan menunjukkan tingginya kewaspadaan masyarakat terhadap potensi mundurnya demokrasi. Jika MK mengabulkan gugatan, UU TNI dapat dibatalkan atau direvisi, memperkuat prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam legislasi. Sebaliknya, jika gugatan ditolak, hal ini dapat memicu ketegangan sosial lebih lanjut, terutama di kalangan mahasiswa dan aktivis yang telah menyuarakan penolakan sejak awal.
Kontroversi ini juga menjadi ujian bagi MK sebagai penjaga konstitusi. Putusan yang dihasilkan akan berdampak tidak hanya pada kebijakan militer, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap supremasi hukum dan demokrasi di Indonesia. Masyarakat kini menanti sidang MK, yang diharapkan dapat memberikan keadilan dan kejelasan atas UU yang penuh polemik ini.