Dualisme PPP, Krisis Internal yang Menggerus Legitimasi di Mata Rakyat

JAKARTA, sdkcards.com – Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai berlambang Ka’bah yang dikenal sebagai representasi umat Islam tradisional di Indonesia, kembali diguncang gejolak internal. Pada akhir September 2025, Muktamar X PPP yang digelar di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, justru berujung pada dualisme kepemimpinan. Dua kubu saling klaim sah: satu di bawah Muhammad Mardiono dan yang lain di bawah Agus Suparmanto. Situasi ini bukan hanya mengulang pola lama partai, tapi juga menuai kritik pedas dari politikus senior. “Kubu mana pun tak dapat simpati rakyat,” tegas seorang tokoh senior, menyoroti bagaimana konflik ini semakin menjauhkan PPP dari basis massa. Mari kita bedah kronologi, akar masalah, dan implikasinya bagi masa depan partai menjelang Pemilu 2029.

Kronologi Muktamar yang Berujung Ricuh

Muktamar X PPP dimulai pada 27 September 2025 dengan agenda utama pemilihan ketua umum periode 2025-2030. Awalnya, proses berjalan sesuai rencana, tapi ketegangan memuncak ketika kubu Mardiono mengklaim aklamasi melalui prosedur virtual, sementara kubu Agus Suparmanto melanjutkan sidang fisik hingga memilih Agus sebagai ketua. Kedua belah pihak saling tuding melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.

Kubu Mardiono, yang didukung oleh faksi pro-pemerintah, menggelar muktamar paralel dan langsung mengumumkan susunan pengurus baru. Sementara itu, kubu Agus, yang lebih berbasis pada loyalis lama, menolak hasil tersebut dan menggelar sidang lanjutan di lokasi yang sama. Akhirnya, keduanya berjanji mendaftarkan kepengurusan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) disertai akta notaris. Namun, hingga 30 September 2025, belum ada pengajuan resmi yang masuk, menurut Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Supratman Andi Agtas.

Konflik ini mengingatkan pada dualisme PPP sebelumnya. Pada 2014-2015, partai terpecah antara Suryadharma Ali dan Romahurmuziy, yang berujung pada penolakan pengesahan salah satu kubu oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan pada 2019, dualisme antara Romahurmuziy dan Humphrey Djemat sempat mencapai puncak sebelum akhirnya bersatu melalui Mukernas.

Sikap Pemerintah: Netralitas sebagai Prinsip Utama

Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra, menegaskan sikap netral. Pada 29 September 2025, Yusril menyatakan bahwa pemerintah tidak akan memihak kubu mana pun dan hanya akan melegalisasi kepengurusan yang sah secara hukum. “Pemerintah wajib bersikap objektif dan tidak boleh memihak kepada salah satu kubu yang bertikai dalam dinamika internal partai mana pun,” ujarnya.

Yusril juga menolak menjadi penengah, karena hal itu bisa dianggap intervensi politik. Proses pengesahan akan bergantung pada dokumen lengkap seperti akta notaris dan bukti kongres yang valid. Jika konflik berlanjut, Kemenkumham berpotensi menunda pengesahan hingga ada putusan pengadilan, seperti kasus dualisme sebelumnya.

Suara Politikus Senior: Tak Ada Pemenang di Mata Rakyat

Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul kritik tajam dari kalangan politikus senior. Seorang tokoh senior PPP yang enggan disebut namanya—diduga mantan petinggi partai era Orde Baru—menilai dualisme ini sebagai “pembunuhan karakter” bagi PPP. “Kubu mana pun tak dapat simpati rakyat,” katanya, merujuk pada survei internal yang menunjukkan penurunan dukungan basis massa hingga 15% pasca-muktamar. Menurutnya, rakyat sudah lelah dengan drama internal yang berulang, terutama ketika partai gagal menyuarakan isu umat seperti kesejahteraan ekonomi dan pendidikan Islam.

Pengamat politik Efriza dari Citra Institute menambahkan bahwa ini cerminan kegagalan konsolidasi. “Klaim aklamasi dari kedua belah pihak memperlihatkan perebutan legitimasi, tanpa upaya konsensus,” ujarnya. Sementara pengamat lain, Wahid dari Lembaga Survei Indonesia, memperingatkan bahwa dualisme ini bisa memperburuk nasib PPP di Pemilu 2029, di mana suara partai sudah merosot dari 815 juta (6,53%) pada 2014 menjadi 587 juta (3,87%) pada 2024.

Aspek Dualisme PPP Kubu Mardiono Kubu Agus Suparmanto
Dasar Klaim Aklamasi virtual, dukungan pro-pemerintah Sidang fisik lanjutan, loyalis tradisional
Pengurus Utama Muhammad Mardiono sebagai Ketua Umum Agus Suparmanto sebagai Ketua Umum
Langkah Selanjutnya Segera daftar ke Kemenkumham Protes dan daftar paralel
Dampak Potensial Risiko ditolak jika dianggap tidak sah Potensi bergabung dengan partai lain jika kalah

Dampak Jangka Panjang: Ancaman Kebangkitan PPP

Dualisme ini bukan sekadar perebutan kursi, tapi gejala krisis identitas PPP sebagai “Partai Ka’bah”. Pengamat menilai, tanpa resolusi cepat, partai berisiko terpecah permanen atau kehilangan parliamentary threshold 4% di Pemilu 2029. Basis massa di pedesaan dan pesantren, yang menjadi tulang punggung PPP, semakin apatis terhadap “politik dinasti” yang dianggap mendominasi kedua kubu.

Beberapa anggota DPR dari PPP bahkan mengusulkan mediasi internal melalui Majelis Syuro, tapi responsnya dingin. Jika dibiarkan, prediksi Efriza, salah satu kubu bisa hengkang ke partai lain seperti PKB atau PKS, memperlemah posisi PPP di parlemen.

Dualisme PPP 2025 adalah pengingat pahit bahwa partai politik tak bisa bertahan hanya dengan perebutan kekuasaan. Seperti ditegaskan politikus senior, simpati rakyat tak lagi untuk kubu mana pun, tapi untuk PPP yang solid dan relevan. Pemerintah netral, tapi tekanan dari publik bisa jadi katalisator perubahan. Bagi kader PPP, ini momen untuk kembali ke akar: persatuan umat. Jika tidak, “Partai Ka’bah” berisiko menjadi relik sejarah politik Indonesia. Pantau perkembangan di situs resmi PPP atau media nasional untuk update selanjutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *