Revolusi Hukum Pidana, 14 Perubahan Mendasar dalam KUHAP Baru yang Disahkan DPR

JAKARTA, sdkcards.com – Pada 18 November 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secara resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna Ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026. Langkah ini menandai akhir dari pembahasan panjang yang dimulai sejak Februari 2025, di tengah kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat sipil. RKUHAP, yang merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lama, dirancang untuk selaras dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang berlaku mulai 1 Januari 2026.

Pengesahan ini disambut dengan nada optimis dari pimpinan DPR, seperti Ketua DPR Puan Maharani yang menekankan bahwa substansi RKUHAP telah dibahas secara transparan dan tidak boleh dimanipulasi oleh hoaks. Namun, di sisi lain, koalisi masyarakat sipil menyoroti kekhawatiran atas proses yang dianggap terburu-buru dan potensi pelemahan pengawasan yudisial. Apa sebenarnya 14 substansi perubahan utama yang menjadi inti RKUHAP ini? Artikel ini akan menguraikan secara lengkap, berdasarkan kesepakatan Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP di tingkat I pada 13 November 2025.

Latar Belakang Pengesahan RKUHAP

KUHAP lama telah berlaku selama 44 tahun, sejak 1981, dan dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum nasional serta internasional, termasuk KUHP baru yang menekankan pendekatan restoratif dan rehabilitatif. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menjelaskan bahwa pembahasan RKUHAP dimulai sebagai usul inisiatif DPR pada 18 Februari 2025, dan disetujui oleh Presiden melalui Surat Presiden. Proses ini melibatkan partisipasi bermakna, meski sempat dikritik karena dianggap kurang melibatkan masyarakat sipil.

RKUHAP bertujuan menjawab tantangan seperti transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi tersangka, korban, saksi, perempuan, anak, dan disabilitas. Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal menegaskan bahwa RUU ini “sudah siap dan udah jadi” setelah tingkat I, siap berlaku beriringan dengan KUHP baru. Namun, pengesahan ini juga memicu perdebatan, terutama soal potensi hambatan penanganan korupsi dan penyadapan tanpa pengawasan hakim.

14 Substansi Perubahan Utama RKUHAP

Panja RUU KUHAP menyepakati 14 substansi utama yang menjadi kerangka pembaruan, sebagaimana dijelaskan oleh Habiburokhman. Berikut daftar lengkapnya:

  1. Penyesuaian Hukum Acara Pidana dengan Perkembangan Hukum Nasional dan Internasional RKUHAP menyelaraskan prosedur dengan standar global, termasuk konvensi HAM internasional, untuk meningkatkan akuntabilitas penegak hukum.
  2. Penyesuaian dengan Nilai KUHP Baru yang Menekankan Orientasi Restoratif, Rehabilitatif, dan Restitutif Fokus pada pemulihan keadilan, hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan sekadar retributif.
  3. Penguatan Perlindungan Hak Tersangka, Korban, dan Saksi Termasuk hak disabilitas, perempuan, dan anak, dengan mekanisme pengawasan yudisial yang lebih ketat.
  4. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas dalam Proses Peradilan Wajib rekam pemeriksaan dengan CCTV dan akses data terbuka untuk mencegah kekerasan.
  5. Penguatan Peran Pengacara Pengacara kini bisa mendampingi saksi dan korban, bukan hanya tersangka, untuk kesetaraan akses bantuan hukum.
  6. Modernisasi Sistem Peradilan Pidana Integrasi teknologi seperti e-court dan digital evidence untuk efisiensi proses.
  7. Pengaturan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Mekanisme mediasi antara pelaku dan korban untuk pemulihan tanpa sidang panjang.
  8. Pengakuan Bukti Elektronik dan Digital Forensik Pengakuan hasil pengamatan hakim sebagai alat bukti, selaras dengan KUHP digital.
  9. Penguatan Hak Korban dan Saksi Termasuk kompensasi dan perlindungan identitas, terutama untuk kelompok rentan.
  10. Mekanisme Penuntutan Korporasi Perjanjian penundaan penuntutan bagi perusahaan yang kooperatif, dengan sanksi restoratif.
  11. Pengakuan Bersalah dengan Keringanan Hukuman Terdakwa kooperatif mendapat imbalan pengurangan hukuman untuk efisiensi peradilan.
  12. Peningkatan Pengawasan Yudisial Penyadapan, pemblokiran, dan penyitaan wajib izin hakim, bukan wewenang polisi semata.
  13. Perlindungan Kelompok Rentan Prosedur khusus untuk perempuan, anak, dan disabilitas dalam pemeriksaan.
  14. Penguatan Mekanisme Hukum Baru Termasuk plea bargaining dan judicial review untuk korupsi, meski dikritik potensi hambatan KPK.

Kontroversi dan Kritik

Meski substansi ini dirancang untuk modernisasi, pengesahan RKUHAP menuai kontroversi. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyoroti 9 poin bermasalah, termasuk potensi pelemahan pengawasan yudisial dan hambatan penanganan korupsi (misalnya Pasal 327 yang membatasi KPK). Sekretaris Jenderal IKADIN, Rivai Kusumanegara, mendukung pengesahan untuk menghindari kegaduhan pasca-KUHP baru, tapi menekankan perlunya judicial review jika ada ketidaksesuaian.

Puan Maharani menanggapi hoaks yang beredar, menegaskan bahwa RKUHAP tidak mengatur penyadapan sewenang-wenang — semua tetap butuh izin hakim. Habiburokhman menambahkan bahwa RUU ini menjawab tuntutan transparansi dan perlindungan HAM.

Dampak dan Harapan ke Depan

RKUHAP diharapkan berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada 2026, membawa peradilan pidana yang lebih adil dan efisien. Namun, pengawasan implementasi menjadi kunci — apakah ini akan memperkuat keadilan substantif, atau justru membuka celah baru? Masyarakat sipil mendesak judicial review untuk pasal-pasal kontroversial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *